Strategi Optimal Mengelola Dampak Negatif Efek Sosial Nocebo Sebagai Akumulasi Pemberitaan Covid19
Niken Ardiyanti, Psi, MPsi & Adam F. Amru, SE
Psikolog & Konsultan Lembaga Management FEB UI, Jakarta.
Pemberitaan mengenai Covid19 sejak akhir bulan Februari 2020 melalui berbagai saluran media komunikasi, hingga hari ini di beragam media: elektronik maupun cetak, sudah sampai titik akumulasi yang sangat jenuh. Kita semua dihadapkan pada kondisi dimana informasi hadir tanpa lagi mampu dikendalikan, mulai dari usia anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Sejak awal Maret 2020, Presiden RI secara resmi mengumumkan terdapat dua warga Indonesia yang positif terpapar Covid19, momen tersebut secara valid meruntuhkan keyakinan masyarakat Indonesia selama ini bahwa Indonesia bebas Covid19. Derasnya arus informasi tanpa mampu diredam yang bersumber dari media sosial menjadi indikator yang apabila kondisi seperti ini tidak segera disadari individu, maka dapat berakibat buruk pada diri Individu. Perubahan konteks yang begitu dramatis setelah pandemi Covid19 terjadi di Indonesia, mengubah tatanan pola berkehidupan negara dan organisasi secara langsung. Kebijakan #SchoolFromHome dan #WorkFromHome segera dilanjutkan dengan kebijakan ‘social distancing’ dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Respon perilaku masyarakat berbeda-beda, ada yang segera memperhatikan A to Z mengenai pandemi Covid19, ada yang langsung mencari masker dan antiseptik di apotik/toko online, hingga melakukan belanja spontan kebutuhan pokok sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan tidak sedikit pula yang memilih untuk acuh – menjalankan rutinitas seperti sediakala tanpa mengindahkan fakta yang terjadi bahwa terjadi pandemi Covid19 di sekitar kita.
Tidak perlu menunggu lama, persebaran virus Covid19 ini mengalami peningkatan sejak awal Maret hingga saat ini dan belum diketahui apakah Indonesia sudah mampu menekan dan mengendalikan persebaran paparan virus atau kita saat ini masih berjuang dalam fase masa kritis.
Adanya jumlah peningkatan jumlah pasien yang terpapar dan jumlah korban meninggal lebih besar daripada jumlah pasien yang sembuh. Fakta ini ditandai dengan keluhan diantaranya tekanan darah tidak stabil, demam, dan gangguan sesak pernapasan. Penanganan awal sesuai dengan protokol kesehatan yang standard bahwa beberapa pasien disimpulkan masih dapat melakukan karantina mandiri di rumah selama #14 hari secara disiplin.
Namun demikian walaupun protokol kesehatan standard sudah diberikan, bagaimana seorang individu memberikan makna terhadap apa yang sedang dialaminya melibatkan sebuah rangkaian proses penilaian / ‘judgement’ yang berasal dari persepsi individu tsb.
Ada individu yang yakin bahwa dirinya mampu melawan ganasnya virus dengan cara meyakinkan dirinya ‘self affirmation’ bahwa ia mampu menghadapi masa karantina mandiri, ia sangat percaya bahwa dengan fokus dan disiplin menjalankan protokol kesehatan selama 14 hari ia mampu mengusir virus Covid19 dari tubuhnya, dan hal ini terbukti benar, setelah menjalankan tes sejumlah 2 kali maka ia dinyatakan negatif virus Covid19.
Akan halnya dengan individu yang sejak pertama kali dinyatakan terpapar Covid19, ia merasakan seperti vonis mati, walaupun sebenarnya tidak demikian. Ia mengindahkan protokol kesehatan yang wajib dilakukan, dan lebih dipengaruhi oleh pikiran akan bayangan negatif dampak dari virus Covid19 yang ia lihat di berbagai negara di dunia. Hasilnya ia yang tadinya relatif cukup sehat harus mendapati dirinya penyakit yang dulu sudah hilang, kembali muncul dengan keluhan sesak napas sehingga ia harus menjalankan isolasi di rumahsakit.
Kedua contoh diatas sebagai pengantar dari penjelasan teori sugesti. Apa yang dialami kedua individu pasien tersebut di awal serupa, yakni: fakta bahwa keduanya terpapar virus Covid19, yang menjadi pembedanya adalah reaksi respons perilaku diantara kedua orang tsb. Pasien A lebih memilih untuk menerima kondisi dan berusaha untuk mengalahkan Covid19 dan berpikiran positif dengan menjalankan secara konsisten dan disiplin protokol kesehatan yang diberikan dokter. Sedangkan Pasien B kecil hati dan merasa tidak yakin mampu menghadapi Covid19 walaupun dengan protokol kesehatan yang sudah direkomendasikan sekalipun. Kedua contoh perilaku pada pasien A dan pasien B merupakan representasi bahwa informasi yang disampaikan oleh Ahli memberikan pengaruh yang bersifat sugesti. Sugesti yang berdampak pada kemunculan perilaku positif maka disebut sebagai Placebo. Asal kata dari Bahasa Latin: “saya akan senang” , sedangkan sugesti yang diperkirakan memberikan dampak negatif maka disebut sebagai Nocebo, dalam bahasa latin _‘saya akan terluka’_ Pada deskripsi Pasien A diatas, ia mendapatkan efek placebo dari sugesti positif sehingga pada akhirnya akan menyembuhkannya (Bejenke, 2011).
Namun disisi lain, adanya dampak Nocebo yang mungkin muncul,Dokter dihadapkan pada dilema etis ketika akan menyampaikan prognosa (perkiraan tingkat kesembuhan) kepada pasien. Disatu sisi Dokter berkewajiban menginformasikan kepada pasien atas risiko pengobatan / _informed consent_, namun di sisi lain, briefing tersebut juga memiliki risiko (Colloca, 2011).
Dalam kaitan dengan kondisi kecemasan masyarakat atas pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini, arus masuk informasi dari media yang terfokus pada dampak fatal dari Covid19 dipersepsi menjadi sebuah bentuk sugesti negatif yang terus terakumulasi masuk ke alam bawah sadar individu. Komunikasi Pemerintah RI kepada masyarakat juga memiliki peran penting, dan direpresentasikan identik dengan komunikasi yang dilakukan oleh Dokter dan Paramedis kepada pasien (Häuser, 2012). Namun, sangat berbeda pada skala dan kompleksitas.
Dengan pola perilaku penggunaan internet dan media sosial yang sudah menjadi _lifestyle_ pada masyarakat Indonesia, menyebabkan penerimaan dan pengiriman kabar sudah menjadi bagian dari aktivitas kebutuhan dasar (primer), selain sandang dan pangan. Hal ini dampaknya pada masyarakat menjadi sensitif dan langsung menyerap informasi yang diterimanya, termasuk diantaranya narasi informasi yang bersifat negatif, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dengan bombardir arus masuk informasi, Individu kesulitan menyaring sumber yang layak dipercaya dan
mana yang tidak. Hubungan timbal balik antara kecemasan dan pencarian informasi yang cenderung negatif menciptakan sebuah siklus yang memperburuk kondisi psikologis dan dapat memicu kondisi psikosomatis.
Social Distancing merupakan anjuran untuk menurunkan kecepatan penyebaran virus dan #WorkFromHome memberikan dampak sosioekonomi yang begitu keras pada pekerja harian pada industri yang bertumpu pada kegiatan perdagangan fisik, kuliner, transportasi, dan pelayanan. Ketidakpastian akan periode pandemi dan minimnya informasi positif yang beredar baik di dalam maupun di luar negeri memberikan akumulasi sugesti negatif bagi masyarakat sehingga rentan mengalami efek Nocebo.
Dampak negatif dari Efek Nocebo Sosial (Prunas, 2012) mengacu pada _Global Severity Index_ diantaranya adalah:
1. Penurunan daya tahan tubuh. Tadinya cukup sehat, karena reaksi emosi yang tidak disadari, tidak dapat dikendalikan sehingga menurunkan sistem imunitas / kekebalan tubuh. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi dengan gizi dan asupan multivitamin maka diperkirakan individu berpeluang menjadi sakit.
2. Psikosomatis – Gangguan fisiologis yang disebabkan karena tekanan psikologis akibat ketidakpastian dampak sosio-ekonomi yang dirasakan secara langsung maupun tidak, misalnya: GERD, Alergi, Migrain, Maag, dll.
3. Paranoid dan gangguan Psikosis lainnya, misalnya: _Obsessive Compulsive Disorder_ (OCD). Hal ini disarankan untuk direferensikan pada Dokter Psikiatri.
Strategi Mengelola Dampak negatif Efek Sosial Nocebo pada individu:
1. Batasi frekuensi siklus informasi yang Anda prediksi akan memberikan dampak negatif. Hanya diri kita sendiri yang dapat mengukur kapasitas kemampuan sendiri.
2. Latih diri sendiri untuk melakukan sugesti dengan menerapkan *_self fullfilling prophecy_* melalui afirmasi positif, yaitu: apa yang kita pikirkan, kita ucapkan, maka kita yakinkan, lalu kita lakukan dan latih untuk menjadi kebiasaan.
3. Segerakan membuat daftar aktivitas pelampiasan yang konstruktif / _Chatarsis_ dalam rumah bersama keluarga atau bersama komunitas melalui online. Dengan hobi yang sudah lama ditinggalkan karena kesibukan kerja /sekolah, misalnya: bermain musik, diskusi online bersama komunitas, menulis, melukis, memasak dan lain2.
4. Asupan multivitamin sebagai antisipasi respons adaptif tubuh secara fisiologis menghadapi situasi psikologis pandemi ini. Dengan asupan multivitamin akan meningkatkan imunitas dan membangun sistem kekebalan tubuh secara alami.
5. Lakukan aktivitas berkegiatan #WFH dan #SFH secara konstruktif dengan menjaga pola pikir positif. Buat daftar kegiatan harian sesuai dengan prinsip Prioritas berdasarkan Keterdesakan Waktu /_urgency_ dan prinsip Kepentingan / ‘importancy’
6. Lakukan protokol kesehatan dengan tindakan preventif yang nyata, dengan cara: istirahat cukup, gunakan masker apabila keluar rumah, berjemur di bawah sinar Matahari, dan selalu mencuci tangan sesering mungkin dari aktivitas di luar rumah maupun sebelum makan dan minum.
Semoga bermanfaat, jaga stamina dan pertahankan energi positif, pertahankan semangat, yakinkan diri bahwa kita mampu melalui ini semua dengan tetap waspada dan disiplin pribadi.
Foto : dok.pribadi/bobatoo.co.uk
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS